BAB
1
Definisi
Pengelolaan Kelas
Ada lima definisi tentang pengelolaan kelas.
·
Definisi pertama, memandang bahwa pengelolaan
kelas sebagai proses untuk mengontrol tingkah laku siswa. Pandangan ini
bersifat otoritatif. Dalam kaitan ini tugas guru ialah menciptakan dan
memelihara ketertiban suasana kelas. Penggunaan disiplin amat diutamakan.
Menurut pandangan ini istilah pengelolaan kelas dan disiplin kelas dipakai
sebagai sinonim. Secara lebih khusus, definisi pertama ini dapat berbunyi:
pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk menciptakan dan
mempertahankan ketertiban suasana kelas.
·
Definisi kedua bertolak belakang dengan definisi
pertama diatas, yaitu yang didasarkan atas pandangan yang bersifat permisif.
Pandangan ini menekankan bahwa tugas guru ialah memaksimalkan perwujudan
kebebasan siswa. Dalam hal ini guru membantu siswa untuk merasa bebas melakukan
hal yang ingin dilakukannya. Berbuat sebaliknya berarti guru menghambat atau
menghalangi perkembangan anak secara alamiah. Dengan demikian, definisi kedua
dapat berbunyi: pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk
memaksimalkan kebebasan siswa. Meskipun kedua pandangan diatas, pandangan
otortatif dan permisif, mempunyai sejumlah pengikut, namun keduanya dianggap
kurang efektif bahkan kurang bertanggungjawab. Pandangan otoritatif adalah
kurang manusiawi sedangkan pandangan permisif kurang realistik.
·
Definisi ketiga didasarkan pada prinsip-prinsip
pengubahan tingkah laku (behavioral modification). Dalam kaitan ini pengelolaan
kelas dipandang sebagai proses pengubahan tingkah laku siswa. Peranan guru
ialah mengembangkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak
diinginkan. Secara singkat, guru membantu siswa dalam mempelajari tingkah laku
yang tepat melalui penerapan prinsip-prinsip yang diambil dari teori penguatan
(reinforcement). Definisi yang didasarkan pada pandangan ini dapat berbunyi:
pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan guru untuk mengembangkan tingkah
laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang
tidak diinginkan.
·
Definisi keempat memandang pengelolaan kelas
sebagai proses penciptaan iklim sosio-emosional yang positif didalam kelas.
Pandangan ini mempunyai anggaran dasar bahwa kegiatan belajar akan berkembang
secara maksimal di dalam kelas yang beriklim positif, yaitu suasana hubungan
interpersonal yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Untuk
terciptanya suasana seperti ini guru memegang peranan kunci. Dengan demikian
peranan guru ialah mengembangkan iklim sosio-emosional kelas yang positif
melalui pertumbuhan hubungan interpersonal yang sehat. Dalam kaitan ini
definisi keempat dapat berbunyi: pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan
guru untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosio-emosional
kelas yang positif.
·
Definisi kelima bertolak dari anggapan bahwa
kelas merupakan sistem sosial dengan proses kelompok (group process) sebagai
intinya. Dalam kaitan ini dipakailah anggapan dasar bahwa pengajaran
berlangsung dalam kaitannya dengan suatu kelompok. Dengan demikian, kehidupan
kelas sebagai kelompok dipandang mempunyai pengaruh yang amat berarti terhadap
kegiatan belajar, meskipun belajar dianggap sebagai proses individual. Peranan
guru ialah mendorong berkembangnya dan berprestasinya sistem kelas yang
efektif. Definisi kelima dapat berbunyi: pengelolaan kelas ialah seperangkat
kegiatan guru untuk menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang
efektif.
Ketiga definisi yang terakhir
tersebut diatas masing-masing bertitik tolak dari dasar pandangan yang berbeda.
Manakah yang terbaik diantara ketiga definisi itu? Dari ketiga pandangan itu
tidak satupun pernah dibuktikan sebagai pandangan yang terbaik. Oleh karena itu
adalah bermanfaat apabila guru mampu membentuk suatu pandangan yang bersifat
pluralistic, yaitu pandangan tersebut. Perlu dicatat bahwa pandangan
pluralistic yang merangkum tiga dasar pandangan itu (pandangan tentang
pengubahan tingkah laku, iklim sosio-emosional, dan proses kelompok) tidak
mungkin merangkum juga pandangan yang bersifat otoritatif dan permisif.
Pandangan yang otoritatif dan permisif itu justru dapat berlawanan dengan
pandangan pluralistic yang dimaksud.
Definisi yang pluralistic itu
dapat berbunyi: pengelolaan kelas ialah seperangkat kegiatan untuk mengembangkan
tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku
yang tidak diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim
sosio-emosional yang positif, serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi
kelas yang efektif dan produktif.
Guru-guru perlu memahami dan
memegang salah satu definisi tersebut diatas yang akan menjadi pedoman bagi
tingkah laku dan kegiatan guru didalam kelas dalam rangka mengelola kelasnya.
Definisi yang lebih tepat bagi guru-guru kiranya adalah definisi yang bersifat
pluralistic.
BAB
2
Masalah
Pengajaran dan Masalah Pengelolaan Kelas
Dalam menangani tugasnya, guru-guru sering menghadapi
permasalahan dengan kegiatan-kegiatan didalam kelasnya. Permasalahan ini
meliputi dua jenis juga, yaitu yang menyangkut pengajaran dan yang menyangkut
pengelolaan kelas. Guru-guru harus mampu membedakan kedua permasalahan itu dan
menemukan pemecahannya secara tepat. Amat sering terjadi guru-guru menangani
masalah yang bersifat pengajaran dengan pemecahan yang bersifat pengelolaan dan
sebaliknya. Misalnya, seorang guru berusaha membuat penyajian pelajaran lebih
menarik agar siswa yang sering tidak masuk menjadi lebih tertarik untuk
menghadiri pelajaran itu, padahal siswa tersebut tidak senang berada di kelas
itu karena dia merasa tidak diterima oleh kawan-kawannya. Pemecahan seperti ini
tentu saja tidak tepat. “Membuat pelajaran lebih menarik” adalah permasalahan
pengajaran, sedangkan “diterima atau tidak diterima oleh kawan” adalah
permasalahan pengelolaan. Masalah pengajaran harus ditangani dengan pemecahan
yang bersifat pengajaran dan masalah pengelolaan harus ditangani dengan
pemecahan yang bersifat pengelolaan.
Untuk
dapat menangani masalah-masalah pengelolaan kelas secara efektif guru harus
mampu:
- Mengenali secara tepat berbagai jenis masalah pengelolaan kelas baik yang bersifat perorangan maupun kelompok;
- Memahami pendekatan mana yang cocok dan tidak cocok untuk jenis masalah tertentu.
- Memilih dan menetapkan pendekatan yang paling tepat untuk memecahkan masalah yang dimaksud.
Keterkaitan
antara Manajemen Kelas dan Keberhasilan
Belajar Siswa
Dibawah ini, adalah gambaran proses pengajaran dan proses
manajerial yang masing-masing meliputi empat proses :
No
|
Proses Pengajaran
|
Proses Manajerial
|
1.
|
Mengidentifikasi tujuan masalah
|
Menetapkan tujuan manajerial
|
2.
|
Mendiagnosis kebutuhan siswa
|
Menganalisis kondisi yang ada
|
3.
|
Merencanakan dan menerapkan aktivitas pengajaran
|
Memilih dan menerapkan strategi manajerial
|
4.
|
Mengevaluasi keberhasilan siswa
|
Menilai keefektifan manajerial
|
Ada dua jenis masalah pengelolaan kelas, yaitu yang bersifat
perorangan dan yang bersifat kelompok. Disadari bahwa masalah perorangan dan
masalah kelompok seringkali menyatu dan amat sukar dipisahkan yang satu dari
yang lain. Namun demikian, pembedaan antara kedua jenis masalah itu akan
bermanfaat, terutama apabila guru ingin mengenali dan menangani permasalahan
yang ada dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya.
Masalah
Perorangan
Penggolongan masalah perorangan ini didasarkan atas anggapan
dasar bahwa tingkah laku manusia itu mengarah pada pencapaian suatu tujuan.
Setiap individu memiliki kebutuhan dasar untuk memiliki dan untuk merasa
dirinya berguna. Jika seorang individu gagal mengembangkan rasa memiliki dan
rasa dirinya berharga maka dia akan bertingkah laku menyimpang. Ada empat jenis
penyimpangan tingkah laku, yaitu tingkah laku menarik perhatian orang lain,
mencari kekuasaan, menuntut balas dan memperlihatkan ketidakmampuan. Keempat
tingkah laku ini diurutkan makin lama makin berat. Misalnya, seorang anak yang
gagal menarik perhatian orang lain boleh jadi menjadi anak yang mengejar
kekuasaan.
Seorang siswa yang gagak menemukan kedudukan dirinya secara
wajar dalam suasana hubungan sosial yang saling menerima biasanya (secara aktif
ataupun pasif) bertingkah laku mencari perhatian orang lain. Tingkah laku
destruktif pencari perhatian yang aktif dapat dijumpai pada anak-anak yang suka
pamer, melawak (memperolok), membikin onar, memperlihatkan kenakalan, terus
menerus bertanya; singkatnya, tukang rewel. Tingkah laku destruktif pencari
perhatian yang pasif dapat dijumpai pada anak-anak yang malas atau anak-anak
yang terus meminta bantuan orang lain.
Tingkah laku mencari kekuasaan sama dengan perhatian yang
destruktif, tetapi lebih mendalam. Pencari kekuasaan yang aktif suka mendekat,
berbohong, menampilkan adanya pertentangan pendapat, tidak mau melakukan yang
diperintahkan orang lain dan menunjukkan sikap tidak patuh secara terbuka.
Pencari kekuasaan yang pasif tampak pada anak-anak yang amat menonjolkan
kemalasannya sehingga tidak melakukan apa-apa sama sekali. Anak-anak ini amat
pelupa, keras kepala, dan secara pasif memperlihatkan ketidakpatuhan.
Siswa yang menuntut balas mengalami frustasi yang amat dalam
dan tidak menyadari bahwa dia sebenarnya mencari sukses dengan jalan menyakiti
orang lain. Keganasan, penyerangan secara fisik (mencakar, menggigit,
menendang) terhadap sesama siswa, petugas atau pengusaha, ataupun terhadap
binatang sering dilakukan anak-anak ini. Anak-anak seperti ini akan merasa
sakit kalau dikalahkan, dan mereka bukan pemain-pemain yang baik (misalnya
dalam pertandingan). Anak-anak yang suka menuntut balas ini biasanya lebih suka
bertindak secara aktif daripada pasif. Anak-anak penuntut balas yang aktif
sering dikenal sebagai anak-anak yang ganas dan kejam, sedang yang pasif
dikenal sebagai anak-anak pencemberut dan tidak patuh (suka menetang.
Siswa yang memperlihatkan ketidakmampuan pada dasarnya
merasa amat tidak mampu berusaha mencari sesuatu yang dikehendakinya (yaitu
rasa memiliki) yang bersikap menyerah terhadap tantangan yang menghadangnya;
bahkan siswa ini menganggap bahwa yang ada dihadapannya hanyalah kegagalan yang
terus menerus. Perasaan tanpa harapan dan tidak tertolong lagi ini biasanya
diikuti dengan tingkah laku mengundurkan atau memencilkan diri. Sikap yang
memperlihatkan ketidakmampuan ini selalu berbentuk pasif.
Ada empat teknik sederhana untuk mengenali adanya
masalah-masalah perorangan seperti diuraikan diatas pada diri para siswa.
·
Pertama, jika guru merasa terganggu
(atau bosan) dengan tingkah laku seorang siswa, hal itu merupakan tanda bahwa
siswa yang bersangkutan mungkin mengalami masalah mencari perhatian.
·
Kedua, jika guru merasa terancam
(atau merasa dikalahkan), hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan
mungkin mengalami masalah mencari kekuasaan.
·
Ketiga, jika guru merasa amat
disakiti, hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan mungkin
mengalami masalah menuntut balas.
·
Dan keempat, jika guru merasa tidak
mampu menolong lagi, hal itu merupakan tanda bahwa siswa yang bersangkutan
mungkin mengalami masalah ketidakmampuan. Ditekankan, guru hendaknya
benar-benar mampu mengenali dan memahami secara tepat arah tingkah laku
siswa-siswa yang dimaksud (apakah tingkah laku siswa itu mengarah ke mencari
perhatian, mencari kekuasaan, menuntut balas, atau memperlihatkan
ketidakcampuran) agar guru itu mampu menangani masalah siswa secara tepat pula.
Masalah
Kelompok
Dikenal
adanya tujuh masalah kelompok dalam kaitannya dengan pengelolaan kelas:
- Kekurang-kompakan
- Kekurangmampuan mengikuti peraturan kelompok
- Reaksi negatif terhadap sesama anggota kelompok
- Penerimaan kelas (kelompok) atau tingkah laku yang menyimpang
- Kegiatan anggota atau kelompok yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan, berhenti melakukan kegiatan atau hanya meniru-niru kegiatan orang (anggota) lainnya saja
- Ketiadaan semangat, tidak mau bekerja, dan tingkah laku agresif atau protes
- Ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan
Kekurang-kompakan kelompok ditandai dengan adanya
kekurang-cocokkan (konflik) diantara para anggota kelompok. Konflik antara
siswa-siswa dari kelompok yang berjenis kelamin atau bersuku berbeda termasuk
kedalam kategori kekurang-kompakan ini. Dapat dibayangkan bahwa kelas yang
siswa-siswa tidak kompak akan beriklim tidak sehat yang diwarnai oleh adanya
konflik, ketegangan dan kekerasan. Siswa-siswa di kelas seperti ini akan merasa
tidak senang dengan kelompok kelasnya sehingga mereka tidak merasa tertarik
dengan kelas yang mereka duduki itu. Para siswa tidak saling bantu membantu.
Jika suasana kelas menunjukkan bahwa siswa-siswa tidak
mematuhi aturan-aturan kelas yang telah ditetapkan, maka masalah yang kedua
muncul, yaitu kekurang-mampuan mengikuti peraturan kelompok. Contoh-contoh
masalah ini ialah berisik; bertingkah laku mengganggu padahal pada waktu itu
semua siswa diminta tenang; berbicara keras-keras atau mengganggu kawan padahal
waktu itu semua siswa diminta tenang bekerja di tempat duduknya masing-masing;
dorong-mendorong atau menyela waktu antri di kafetaria dan lain-lain.
Reaksi negatif terhadap anggota kelompok terjadi apabila
ekspresi yang bersifat kasar yang dilontarkan terhadap anggota kelompok yang
tidak diterima oleh kelompok itu, anggota kelompok yang menyimpang dari aturan
kelompok atau anggota kelompok yang menghambat kegiatan kelompok. Anggota
kelompok dianggap “menyimpang” ini kemudian “dipaksa” oleh kelompok itu untuk
mengikuti kemauan kelompok.
Penerimaan kelompok (kelas) atas tingkah laku yang menyimpang
terjadi apabila kelompok itu mendorong timbulnya dan mendukung anggota kelompok
yang bertingkah laku menyimpang dari norma-norma sosial pada umumnya. Contoh
yang amat umum ialah perbuatan memperolok-olokan (memperlawakkan), misalnya
membuat gambar-gambar yang “lucu” tentang guru. Jika hal ini terjadi maka
masalah kelompok dan masalah perorangan telah berkembang dan masalah kelompok
kelihatannya lebih perlu mendapat perhatian.
Masalah kelompok anak timbul dari kelompok itu mudah
terganggu dalam kelancaran kegiatannya. Dalam hal ini kelompok itu mereaksi
secara berlebihan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak berarti atau bahkan
memanfaatkan hal-hal kecil untuk mengganggu kelancaran kegiatan kelompok itu.
Contoh yang sering terjadi ialah para siswa menolak untuk melakukan karena
mereka beranggapan guru tidak adil. Jika hal ini terjadi, maka suasana diwarnai
oleh ketidaktentuan dan kekhawatiran.
Masalah kelompok yang paling rumit ialah apabila kelompok
itu melakukan protes dan tidak mau melakukan kegiatan, baik hal itu dinyatakan
secara terbuka maupun terselubung. Permintaan penjelasan yang terus menerus
tentang sesuatu tugas, kehilangan pensil, lupa mengerjakan tugas rumah atau
tugas itu tertinggal di rumah, tidak dapat mengerjakan tugas karena gangguan
keadaan tertentu, dan lain-lain merupakan contoh-contoh protes atau keengganan
bekerja. Pada umumnya protes dan keengganan seperti itu disampaikan secara
terselubung dan penyampaian secara terbuka biasanya jarang terjadi.
Ketidak-mampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan
terjadi apabila kelompok (kelas) mereaksi secara tidak wajar terhadap peraturan
baru atau perubahan peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan
peraturan, pengertian keanggotaan kelompok, perubahan jadwal kegiatan, pergantian
guru dan lain-lain. Apabila hal itu terjadi sebenarnya para siswa (anggota
kelompok) sedang mereaksi terhadap suatu ketegangan tertentu; mereka menganggap
perubahan yang terjadi itu sebagai ancaman terhadap keutuhan kelompok. Contoh
yang paling sering terjadi ialah tingkah laku yang tidak sedap pada siswa
terhadap guru pengganti, padahal biasanya kelas itu adalah kelas yang baik.
BAB 3
Menghadapi
Masalah-masalah Pengelolaan Kelas
Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas guru
dapat menerapkan berbagai pendekatan. Pendekatan pertama ialah dengan
menerapkan sejumlah “larangan dan anjuran” misalnya:
- Jangan menegur siswa di hadapan kawan-kawannya.
- Dalam memberikan peringatan kepada siswa janganlah mempergunakan nada suara yang tinggi.
- Bersikaplah tegas dan adil terhadap semua siswa
- Jangan pilih kasih
- Sebelum menghukum siswa, buktikanlah terlebih dahulu bahwa siswa itu bersalah
- Patuhlah pada aturan-aturan yang sudah anda tetapkan.
Pendekatan “larangan dan anjuran” diatas tampaknya mudah,
namun karena tidak didasarkan pada teori atau prinsip-prinsip tertentu pada
umumnya kurang dapat dilaksanakan secara mantap. Masing-masing perintah atau
larangan itu dapat diterapkan atas dasar generalisasi masalah-masalah
pengelolaan kelas tertentu. Disamping itu, guru yang melaksanakan perintah dan
larangan itu hanya bersikap reaktif terhadap masalah-masalah pengelolaan kelas
yang timbul. Jangkauan tindakan yang reaktif inipun amat sempit, yaitu hanya
terbatas pada masalah-masalah yang muncul sesewaktu saja. Padahal dari guru
diharapkan tindakan-tindakan yang menjangkau kemungkinan timbulnya
masalah-masalah yang dapat muncul di masa depan, sehingga timbulnya
masalah-masalah itu dapat dicegah, atau kalau toh masalah-masalah itu timbul
juga intensitasnya tidak begitu besar dan dapat ditanggulangi secara tepat.
Kesulitan lain yang dapat ditimbulkan dengan diterapkannya
pendekatan “perintah dan larangan” yang mirip-mirip resep itu ialah, jika
“resep” itu ternyata gagal, maka guru dapat kehilangan akal dalam menangani
masalah yang dihadapinya. Guru tidak mampu menganalisis masalah itu dan tidak
mampu menemukan alternatif-alternatif tindakan yang mungkin justru lebih ampuh
daripada perintah dan larangan sebagaimana tercantum didalam “resep” itu.
Pendekatan “perintah dan larangan” itu bersifat absolut dan
tidak membuka peluang bagi diambilnya tindakan-tindakan yang lebih luwes dan
kreatif. Pendekatan “resep” ini hanya mengatakan: “Jika terjadi masalah itu,
lakukanlah itu atau itu atau itu”. Guru-guru yang hanya mengandalkan penerapan
pendekatan seperti itu dianggap kurang memanfaatkan potensinya sendiri dan
kurang mampu menyelenggarakan pengelolaan kelas secara efektif.
Ada pendekatan lain yang boleh jadi dipakai oleh guru-guru
dalam menangani masalah-masalah pengelolaan kelas. Pendekatan ini sebenarnyalah
tidak tepat diterapkan di kelas-kelas kita. Meskipun pendekatan yang sedang
kita bicarakan ini hendaknya tidak dilaksanakan oleh guru-guru, namun toh perlu
kita bicarakan juga agar kita semua mengenalnya sehingga tidak terjerumus ke
dalamnya. Pendekatan yang tidak tepat itu meliputi tiga hal, yaitu:
- penghukuman atau pengancaman,
- pengalihan dan pemasabodohan, dan
- penguasaan atau penekanan.
Apabila hal-hal itu dilaksanakan didalam kelas mungkin akan
menghasilkan pengaruh tertentu, namun hasil-hasil yang ditimbulkan itu kiranya
tidak sebagaimana yang kita harapkan. Tindakan penghukuman atau pengancaman
hanya sekedar mengubah tingkahlaku sesaat saja dan hanya menyinggung
aspek-aspek yang bersifat permukaan belaka. Sayangnya lagi, tindakan itu
biasanya diikuti oleh tingkah laku negatif lainnya pada diri siswa, termasuk
didalamnya tindakan kekerasan. Tindakan pengalihan atau pemasabodohan
seringkali menimbulkan semangat yang rendah, ketidaktenangan, kecenderungan
mencari kambing hitam, agresi dan tindakan kekerasan lainnya. Tindakan
penguasaan atau penekanan akan menghasilkan sikap pura-pura patuh, diam-diam
dan bahkan mungkin tindakan kekerasan.
Pada umumnya tindakan-tindakan berdasarkan pendekatan diatas
tidaklah efektif. Apabila tindakan-tindakan itu dilaksanakan hasilnya adalah
pemecahan masalah sementara yang barangkali justru diikuti oleh timbulnya
masalah-masalah yang lebih parah. Dapat dikatakan bahwa, pendekatan seperti itu
baru menjangkau gejala-gejala yang menyertai masalah yang timbul dan belum
menjangkau inti permasalahan yang sebenarnya.
Berikut ini dikemukakan perincian beberapa tindakan yang
tidak tepat untuk menangani masalah-masalah yang timbul didalam kelas:
- Tindakan penghukuman atau pengancaman:
- Menghukum dengan kekerasan, larangan atau pengusiran
- Menerapkan ancaman atau memaksakan berlakunya larangan-larangan
- Menghardik, mengasari dengan kata, mencemooh atau menertawakan
- Menghukum seorang diantara siswa sebagai contoh bagi siswa-siswa lainnya
- Memaksa siswa untuk meminta maaf atau memaksakan tuntutan-tuntutan lainnya.
- Tindakan pengalihan atau pemasabodohan:
- Meremehkan sesuatu kejadian atau tidak melakukan apa-apa sama sekali.
- Menukar susunan kelompok dengan mengganti atau mengeluarkan anggota tertentu.
- Mengalihkan tanggungjawab kelompok kepada tanggungjawab seseorang anggota.
- Menukar kegiatan (yang seharusnya dilakukan oleh siswa) untuk menghindari tingkah laku tertentu dari siswa.
- Mengalihkan tingkah laku siswa dengan cara-cara lain.
- Tindakan penguasaan atau penekanan:
- Memerintah, memarahi, mengomel
- Memakai pengaruh orang-orang yang berkuasa (misalnya orang tua, pimpinan sekolah)
- Menyatakan ketidaksetujuan dengan mempergunakan kata-kata, tindakan atau pandangan.
- Melakukan tindakan kekerasan sebagai pelaksanaan dari ancaman-ancaman yang pernah dijanjikan.
- Mempergunakan hadiah sebagai perbandingan terhadap hukuman bagi para pelanggar.
- Mendelegasikan wewenang kepada siswa untuk memaksakan penguasaan kelas.
Tidak seperti dua pendekatan diatas, pendekatan pengubahan
tingkah laku didasarkan pada teori yang mantap. Secara singkat, teori ini pada
dasarnya mengatakan bahwa semua tingkah laku, baik tingkah laku yang disukai
ataupun yang tidak disukai, adalah hasil belajar. Mereka yang percaya pada
teori ini berpendapat bahwa:
(1)
penguatan (reinforcement) positif,
penguatan negatif, hukuman dan penghilangan (extinction) berlaku bagi proses
belajar pada semua tingkatan umur dan dalam semua keadaan, dan
(2)
proses belajar sebagian atau bahkan
seluruhnya dipengaruhi (dikontrol) oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di
lingkungan.
Teori pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa penguasaan
tingkah laku tertentu sejalan dengan usaha belajar yang hasil-hasilnya akan
memperoleh ganjaran; bahwa penampilan tingkah laku yang dimaksudkan itu akan
menghasilkan penguatan tertentu. Penguatan dipandang sebagai kejadian yang
meningkatkan kemungkinan diulanginya penampilan perbuatan (tingkah laku)
tertentu; dengan demikian perbuatan atau tingkah laku diperkuat. Tingkah laku
yang diperkuat itu boleh berupa tingkah laku yang disukai ataupun yang tidak
disukai. Dengan kata lain, jika tingkah laku tertentu diberi ganjaran, maka
tingkah laku itu cenderung diteruskan.
Penguatan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Pada
umumnya penguatan itu berupa ganjaran yang diberikan kepada siswa yang
menampilkan tingkah laku yang baik dengan harapan agar tingkah laku itu
diteruskan. Pemberian ganjaran terhadap tingkah laku yang telah dikuasai oleh
siswa itu disebut penguatan positif. Sebaliknya, penguatan negatif ialah
penguatan yang dilakukan dengan jalan dikuranginya (atau ditiadakannya) hal-hal
(perangsang) yang tidak menyenangkan (yang dikenakan terhadap siswa).
Penghukuman merupakan penggunaan perangsang yang tidak
menyenangkan untuk meniadakan tingkah laku yang tidak disukai. Hukuman dianggap
bermanfaat untuk segera menghentikan ditampilkannya tingkah laku yang tidak
disukai sambil memberikan kepada guru waktu untuk melaksanakan sistem penguatan
yang tepat bagi tingkah laku yang disukai. Banyak orang meragukan keefektifan
hukuman itu dan memang penggunaan hukuman itu mengatasi masalah pengelolaan
kelas masih diperdebat. Dalam kaitan dengan pemberian penguatan dan hukuman,
pada penganut pendekatan pengubahan tingkah laku berpendapat bahwa:
1.
mengabaikan tingkah laku yang tidak
disukai dan memperlihatkan persetujuan atas tingkah laku yang disukai merupakan
tindakan yang amat efektif untuk membina tingkah laku siswa didalam siswanya.
2.
memperlihatkan persetujuan atas
tingkah laku yang disukai tampaknya merupakan kunci bagi pengelolaan kelas yang
efektif.
Pendekatan iklim sosio-emosional
dibangun atas dasar pandangan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan
fungsi dari hubungan yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.
Hubungan guru-siswa terutama sekali dipengaruhi oleh:
(1) keterbukaan atau sikap tidak
berpura-pura dari guru,
(2) penerimaan dan kepercayaan guru
terhadap siswa-siswanya, dan
(3) empati guru terhadap
siswa-siswanya.
Guru yang ingin menerapkan
pendekatan interpersonal juga perlu menyadari kenyataan bahwa cinta dan merasa
diri berharga merupakan dua kebutuhan dasar yang hendaknya dimiliki (dirasakan)
oleh siswa jika siswa itu hendak mengembangkan perasaan diri sukses. Siswa
perlu memperoleh pengalaman sukses; oleh karena itu, guru hendaklah membuka
kemungkinan sebesar-besarnya bagi para siswa untuk mencapai sukses. Lebih jauh,
perlu diperhatikan juga bahwa bertindak atas dasar penghayatannya (persepsinya)
tentang diri sendiri. Disamping itu, siswa juga perlu memandang diri sebagai
individu yang berharga. Oleh karena itu semua siswa perlu dilayani dengan penuh
penghargaan.
Para penganut pendekatan iklim sosio-emosional menekankan
pentingnya guru berupaya sekuat-kuatnya membantu siswa menghindari kegagalan.
Mereka percaya bahwa kegagalan akan melemahkan atau bahkan membunuh motivasi,
menumbuhkan penghayatan negatif terhadap diri sendiri, meningkatkan kecemasan
dan merangsang tumbuhnya tingkah laku yang menyimpang. Kelas harus dibuat
sedemikian rupa sehingga merupakan tempt dimana siswa-siswa merasa aman dan
tentram, serta merasa memiliki kesempatan melakukan kesalahan dan menemukan
kegagalan tanpa ancaman hukuman yang berat. Pendekatan iklim sosio-emosional
berakar dari pandangan yang mengutamakan hubungan guru-siswa yang penuh empati
dan saling menerima. Pendekatan ini percaya bahwa iklim (suasana) kelas
berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan guru memberikan pengaruh yang amat
besar terhadap iklim tersebut. Dengan demikian, pendekatan ini menekankan
pentingnya tingkah laku atau tindakan guru yang menyebabkan siswa memandang
guru itu betul-betul terlibat dalam pembinaan siswa dan benar-benar
memperhatikan suka-duka siswa. Apabila siswa bertingkah laku menyimpang, maka
guru bertindak “memisahkan kesalahan dari orang yang berbuat salah”, tetap
menerima siswa yang bersangkutan sambil sekaligus menolak perbuatannya yang
menyimpang itu. Dalam semua hal, fungsi guru ialah mengembangkan hubungan yang
baik dengan setiap siswa. Implikasi pendekatan ini ialah bahwa siswa dipandang
sebagai “keseluruhan pribadi yang sedang berkembang”, bukan semata-mata sebagai
seorang anak yang sedang mempelajari pelajaran tertentu.
Penggunaan pendekatan proses kelompok dalam pengelolaan
kelas didasarkan atas prinsip-prinsip psikologi sosial dan dinamika kelompok.
Anggapan dasar yang dipakai ialah bahwa
(1)
kegiatan siswa di sekolah
berlangsung dalam suatu kelompok tertentu, dan
(2)
kelas adalah suatu sistem sosial
yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dimiliki oleh sistem sosial lainnya.
Penggunaan pendekatan proses
kelompok menekankan pentingnya ciri-ciri kelompok yang ada didalam kelompok
kelas dan saling hubungan antar siswa yang menjadi anggota kelompok kelas itu.
Dalam hal ini peranan guru yang paling utama ialah mengembangkan dan
mempertahankan keeratan hubungan antar siswa, semangat produktivitas dan
orientasi pada tujuan dari kelompok kelas ini. Demikianlah, tugas pertama guru
ialah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok kelas. Dalam hal
ini ditekankan perlunya guru meningkatkan daya tarik dan ikatan kelompok bagi
anggota-anggotanya dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan
mengembangkan komunikasi yang tepat antar anggota kelompok. Tugas kedua ialah
membantu siswa mengembangkan aturan atau norma-norma kelompok yang produktif
dan menyenangkan. Hal ini mencakup, misalnya pengembangan aturan bekerja yang
dapat diterima oleh semua anggota. Sekali kelompok yang kompak dan produktif
terbentuk, selanjutnya adalah tugas guru untuk mempertahankan kesatuan dan
norma-norma kelompok itu.
Dalam menghadapi masalah-masalah pengelolaan kelas,
pemakaian pendekatan proses kelompok didasarkan atas pertimbangan bahwa tingkah
laku yang menyimpang pada dasarnya bukanlah peristiwa yang menimpa seorang
individu yang kebetulan menjadi anggota kelompok kelas tertentu, namun adalah
peristiwa sosial yang menyangkut kehidupan kelompok dimana individu itu menjadi
anggotanya.
Tujuan utama bagi guru yang menangani tingkah laku yang
menyimpang itu ialah membantu kelompok itu bertanggungjawab atas perbuatan
anggota-anggotanya dan pengelolaan kegiatan kelompok itu sendiri. Kelompok yang
berfungsi secara efektif dapat melakukan kontrol yang mantap terhadap
anggota-anggotanya.
BAB 4
Pendekatan Pengubahan Tingkah Laku dalam Pengelolaan Kelas
Seperti dikemukakan terdahulu, pendekatan pengubahan tingkah
laku didasarkan atas prinsip-prinsip psikologi behavioral. Prinsip pokoknya
ialah bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, baik tingkah laku yang disukai
maupun tidak disukai. Para penganut pendekatan ini percaya bahwa seorang siswa
yang bertingkah laku menyimpang melakukan perbuatannya itu karena satu atau dua
alasan:
- siswa telah mempelajari tingkah laku yang menyimpang itu, atau
- siswa itu belum mempelajari tingkah laku yang sebaiknya.
Pendekatan
pengubahan tingkah laku dibangun atas dua anggapan dasar:
- ada empat proses yang perlu diperhitungkan dalam belajar bagi semua orang pada segala tingkatan umur dan dalam segala keadaan dan
- proses belajar itu sebagian atau seluruhnya dipengaruhi (dikontrol) oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan. Dengan demikian, tugas pokok guru adalah menguasai dan menerapkan keempat proses yang telah terbukti (bagi kaum behavioris) merupakan pengontrol tingkah laku manusia, yaitu: penguatan positif, penghukuman, penghilangan dan penguatan negatif.
Para penganut pemberian penguatan menekankan bahwa apabila
seorang siswa menampilkan tingkah laku tertentu, maka tingkah lakunya itu
diikuti oleh akibat (konsekwensi) tertentu. Ada empat kategori dasar dari
akibat:
- apabila ganjaran diberikan,
- apabila hukuman diberikan,
- apabila ganjaran dihentikan, dan
- apabila hukuman dihentikan.
Pemberian ganjaran disebut penguatan positif dan pemberian
hukuman disebut saja penghukuman. Penghentian pemberian ganjaran disebut
penghilangan (extinention) atau penundaan (time out), tergantung pada
keadaannya. Penghentian hukuman disebut penguatan negatif. Frekuensi munculnya
tingkah laku tertentu sejalan dengan jenis mana yang mengikuti tingkah laku
itu. Penguatan positif, yaitu pemberian ganjaran setelah ditampilkannya tingkah
laku yang dimaksud, mengakibatkan ditingkatkannya frekuensi pemunculan tingkah
laku yang dimaksud. Tingkah laku yang memperoleh ganjaran itu diperbuat dan
diulangi lagi di waktu mendatang.
Contoh:
Bambang
menulis laporan dengan rapi dan menyerahkannya kepada guru (tingkah laku
siswa). Guru memuji pekerjaan Bambang itu dan memberikan komentar bahwa laporan
Bambang yang ditulis dengan rapi lebih mudah dibaca dibandingkan dengan yang
ditulis secara tidak rapi (penguatan positif). Untuk laporan-laporan
berikutnya, Bambang terus memperhatikan kerapian laporan itu (frekuensi tingkah
laku yang dikuatkan itu meningkat).
Penghukuman menampilkan perangsang yang tidak diinginkan atau tidak disukai (yaitu hukuman) setelah dilakukannya suatu perbuatan tertentu yang menyebabkan frekuensi pemunculan tingkah laku itu menurun.
Penghukuman menampilkan perangsang yang tidak diinginkan atau tidak disukai (yaitu hukuman) setelah dilakukannya suatu perbuatan tertentu yang menyebabkan frekuensi pemunculan tingkah laku itu menurun.
Contoh:
Jamilus
menyerahkan kepada guru laporan yang kurang rapi (tingkah laku siswa). Guru
memahami Jamilus karena tidak memperhatikan kerapian laporan itu, mengatakan
bahwa laporan yang tidak rapi sukar dibaca dan menyuruh Jamilus menulis laporan
itu kembali (hukuman). Untuk laporan-laporan selanjutnya, Jamilus telah
memperhatikan kerapian laporan itu (frekuensi tingkah laku yang mendapatkan
hukuman itu menurun). Penghilangan adalah menahan (tidak lagi memberikan)
ganjaran yang diharapkan akan diberikan seperti yang sudah-sudah (menahan
pemberian penguatan positif). Penghilangan ini menghasilkan penurunan frekuensi
tingkah laku yang semula mendapat penguatan.
Contoh:
Susi,
yang laporan-laporan sebelumnya memperoleh pujian dari guru, menyerahkan kepada
guru laporan yang rapi (tingkah laku siswa yang sebelumnya mendapat penguatan).
Guru menerima laporan itu dan setelah dibaca mengembalikan laporan itu tanpa
komentar (menahan pemberian penguatan positif). Untuk laporan-laporan
berikutnya Susi menjadi kurang rapi (frekuensi tingkat laku yang telah
dikuatkan menurun). Penundaan merupakan tindakan tidak jadi memberikan ganjaran
atau mengecualian pemberian ganjaran untuk siswa tertentu. Penundaan seperti
ini menurunkan frekuensi penguatan dan menurunkan frekuensi tingkah laku yang
dimaksudkan itu.
Contoh:
Para
siswa di kelas Ibu Eti (guru Bahasa Inggris) yakin bahwa guru mereka itu akan
menyelenggarakan permainan kata-kata (word game) jika para siswa mengerjakan
tugas dan baik. Permainan seperti itu amat digemari oleh para siswa. Ternyata
siswa-siswa memang mengerjakan tugas dengan baik, kecuali Jayeng. Ibu Eti
mengatakan bahwa Jayeng tidak diperkenankan ikut serta dalam permainan itu dan
duduk sendiri terpisah dari kelompok-kelompoknya (mengecualikan pemberian
ganjaran untuk siswa tertentu). Selanjutnya, Jayeng mengerjakan tugas-tugas
dengan lebih baik (frekuensi tingkah laku laku menurun).
Penguatan
negatif adalah peniadaan perangsang yang mengenakkan atau tidak disukai (yaitu
hukuman) setelah ditampilkannya suatu tingkah laku yang mengakibatkan
menurunnya frekuensi tingkah laku yang dimaksud.
Peniadaan
hukuman itu memperkuat tingkah laku yang ditampilkan dan meningkatkan
kecenderungan diulanginya tingkah laku tersebut.
Contoh:
Jamilus
adalah salah seorang siswa yang harus menerus menyerahkan kepada guru
laporan-laporan yang ditulis dengan tidak rapi. Meskipun guru terus menerus
menegur dan memarahinya, laporan-laporan Jamilus itu tidak lebih baik. Pada
suatu ketika Jamilus menyerahkan laporan yang agak rapi. Guru menerima laporan
Jamilus itu tanpa komentar dan tanpa teguran atau marah yang selama ini
ditempatkan kepadanya (peniadaan hukuman). Selanjutnya, laporan-laporan Jamilus
menjadi lebih rapi (frekuensi tingkah laku meningkat).
Dapat diringkaskan, guru dapat menumbuhkan tingkah laku yang
diinginkan pada diri siswa melalui penerapan penguatan positif, yaitu pemberian
ganjaran dan penguatan negatif yaitu peniadaan hukuman. Guru dapat mengurangi
tingkah laku yang tidak diinginkan pada diri siswa melalui penerapan
penghukuman, yaitu pemberian perangsang yang tidak mengenakkan; penghilangan
yaitu menahan pemberian ganjaran yang biasanya diberikan dan penundaan, yaitu
mengecualikan siswa dari pemberian ganjaran tertentu. Perlu diingat bahwa
penerapan masing-masing jenis akibat (konsekuensi) itu berkaitan dengan diterus
atau dihentikannya penampilan suatu tingkah laku di masa depan. Jika guru
memberikan penguatan terhadap perbuatan yang menyimpang, maka besar kemungkinan
perbuatan yang menyimpang itu akan diulangi atau diteruskan; dan sebaliknya,
apabila guru menghukum tingkah laku yang baik, maka besar kemungkinan perbuatan
yang sebenarnya baik it akan dihentikan penampilannya.
Tentang kapan penguatan itu diberikan juga penting. Tingkah
laku siswa yang dianggap baik dan perlu diteruskan hendaknya diberi penguatan
sesegera mungkin setelah tingkah laku itu ditampilkan. Tingkah laku siswa yang
tidak diinginkan dan perlu dihentikan hendaklah diberi hukuman sesegera mungkin
setelah tingkah laku itu ditampilkan. Tingkah laku yang tidak segera diberi
penguatan akan cenderung melemah dan tingkah laku yang tidak segera diberi
hukuman akan cenderung berkembang (menguat). Dengan demikian, unsur waktu dalam
pemberian penguatan dan hukuman adalah penting. “Makin cepat makin baik”
merupakan kata-kata yang perlu diperhatikan bagi guru berkenaan dengan
keefektifannya dalam mengelola kelas.
Frekuensi pemberian penguatan juga perlu diperhatikan.
Penguatan terus menerus yaitu yang diberikan setelah setiap kali tingkah laku
yang dimaksudkan ditampilkan, berakibat makin seringnya penampilan tingkah laku
itu. Dengan demikian, jika guru ingin memperkuat tingkah laku tertentu dari
seorang siswa maka guru itu hendaklah memberikan ganjaran pada setiap
penampilan tingkah laku yang dimaksud. Penguatan yang terus menerus itu
terutama sekali efektif bagi tahap-tahap awal penguasaan suatu tingkah laku
khusus tertentu, dan sekali tingkah laku itu sudah terbina pada diri siswa,
penguatan berkala akan lebih efektif. Ada dua macam penjadwalan dalam penguatan
berkala, yaitu penjadwalan interval dan penjadwalan rasio. Penjadwalan interval
dilaksanakan apabila guru memberikan penguatan kepada siswa setiap setelah
jangka waktu tertentu.
Misalnya, guru memberikan penguatan setiap jam. Penjadwalan
rasio dilaksanakan apabila guru memberikan pengaturan kepada siswa setiap
setelah siswa menampilkan sekian kali tingkah laku yang dimaksud.
Misalnya, guru memberikan penguatan setiap siswa telah
menampilkan empat kali tingkah laku yang dimaksud. Pada umumnya, penjadwalan
interval lebih efektif diterapkan untuk mempertahankan agar tingkah laku yang
dimaksudkan itu terus menerus dapat berlangsung secara tetap, sedangkan
penjadwalan rasio lebih efektif untuk meningkatkan frekuensi penampilan tingkah
laku itu.
Dalam proses pemberian penguatan, ganjaran yang diberikan
disebut penguat (reinforce). Jenis-jenis penguat dapat digolongkan ke dalam dua
klasifikasi besar:
- penguat besar, yaitu penguat-penguat yang tidak dipelajari dan selalu diperlukan untuk berlangsungnya hidup (seperti makanan, air, udara yang segar), dan
- penguat bersyarat, yaitu penguat-penguat yang dipelajari (seperti pujian, kasih sayang, uang).
Penguat
bersyarat meliputi:
- penguat sosial, yaitu pemberian ganjaran terhadap tingkah laku tertentu oleh orang lain dalam kaitannya dengan suasana sosial (seperti tepuk tangan, pujian);
- penguat penghargaan yaitu jenis ganjaran yang merupakan tanda penghargaan, yang mana tanda penghargaan itu mungkin dapat ditukarkan dengan ganjaran nyata yang dapat bermanfaat (seperti uang tanda tukar kebutuhan sekolah lainnya);
- penguatan kegiatan, yaitu jenis ganjaran yang berupa kesempatan untuk melakukan kegiatan tertentu (seperti kesempatan berekreasi, membaca bebas di perpustakaan). Dalam menyelenggarakan penguatan haruslah diperhatikan pengaruh penguatan itu pada diri masing-masing siswa. Keberhasilan suatu usaha penguatan harus dilihat sampai berapa jauh penguatan itu mampu meningkatkan frekuensi penampilan tingkah laku yang diberi penguatan itu. Dengan demikian, arti suatu ganjaran hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan siswa tertentu.
Ganjaran bagi seorang siswa mungkin memang merupakan
ganjaran, tetapi bagi siswa lainnya justru merupakan hukuman. Tanggapan guru
terhadap tingkah laku siswa yang dimaksudkan sebagai pujian dan ganjaran,
dirasakan oleh siswa sebagai hukuman dan sebaliknya, yang dimaksudkan sebagai
hukuman justru seringkali terjadi. Seringkali siswa melakukan tindakan yang
menyimpang untuk menarik perhatian orang lain. Tanggapan guru yang berupa marah
atau omelan, bagi siswa yang haus akan perhatian orang lain dirasakan lebih
sebagai ganjaran daripada sebagai hukuman, dan sebagai akibatnya siswa itu
terus bertingkah laku menyimpang dengan tujuan menarik perhatian orang lain.
Contoh diatas mengisyaratkan bahwa guru harus amat hati-hati
dalam memilih dan menerapkan penguat-penguat yang tepat untuk siswa-siswa
tertentu. Hal ini tampaknya sukar, namun sebenarnya tidaklah demikian.
Jenis-jenis penguat tertentu sebenarnya tidak terlepas dari kebutuhan siswa
tertentu, bahkan siswa itu dapat (secara tidak langsung) menunjukkan
penguat-penguat yang dibutuhkannya. Ada tiga cara untuk mengenali jenis-jenis
penguat yang bersangkutan dengan siswa tertentu:
- melihat petunjuk-petunjuk (gelagat) khusus berkaitan dengan jenis penguat tertentu dengan jalan mengamati hal-hal apa yang ingin dilakukan oleh siswa;
- melihat petunjuk-petunjuk tambahan dengan mengamati apa yang terjadi setelah siswa menampilkan tingkah laku tertentu; dalam hal ini guru mencoba menerapkan tindakan atau tingkah laku apa yang dilakukan guru dan teman-teman siswa itu yang tampaknya menguatkan tingkah laku siswa yang bersangkutan; dan
- memperoleh petunjuk-petunjuk tambahan dengan jalan langsung menanyakan kepada siswa yang bersangkutan tentang apa yang ingin dilakukannya jika dia memiliki waktu terluang, apa yang ingin dimilikinya, dan untuk apa atau untuk siapa biasanya siswa itu melakukan sesuatu yang berarti.
Setelah secara singkat membahas penggunaan ganjaran, marilah
kita singgung sedikit lagi tentang hal yang sebenarnya masih merupakan suatu
dilema atau masih diperdebatkan, yaitu penggunaan hukuman untuk mengurangi atau
meniadakan tingkah laku yang tidak disukai. Dalam kaitan ini ada tiga pokok
pandangan, yaitu:
- penggunaan hukuman secara tepat adalah amat efektif untuk mengurangi atau menghilangkan tingkah laku siswa yang menyimpang;
- penggunaan hukuman secara bijaksana terhadap hal-hal tertentu secara terbatas dapat menimbulkan akibat yang baik secara cepat (segera), tetapi guru harus dengan hati-hati mencatat akibat-akibat sampingan dari hukuman itu, dan
- penggunaan hukuman itu hendaklah sama sekali dihindarkan karena penanggulangan terhadap tingkah laku siswa yang menyimpang dapat dilakukan dengan cara-cara lain yang tidak perlu menimbulkan akibat sampingan sebagaimana dapat ditimbulkan oleh hukuman.
Keuntungan
dan kerugian penggunaan hukuman perlu dikenali.
Beberapa
keuntungan ialah:
- Hukuman dapat menghentikan dengan segera tingkah laku siswa yang menyimpang, dan dapat mencegah berulangnya kembali tingkah laku itu dalam waktu yang cukup lama.
- Hukuman berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada siswa dengan kenyataan bahwa siswa dibantu untuk segera mengetahui tingkah laku mana yang dapat diterima.
- Hukuman berfungsi sebagai pengajaran bagi siswa-siswa lain dengan kenyataan bahwa hukuman itu mungkin mengurangi kemungkinan siswa-siswa lain meniru tingkah yang mendapat hukuman itu.
Kerugian
penggunaan hukuman:
- Hukuman dapat ditafsirkan secara salah. Kadang-kadang penghukuman terhadap tingkah laku tertentu digeneralisasikan untuk tingkah laku-tingkah laku lainnya. Misalnya, seorang siswa yang dihukum karena berbicara tanpa mengindahkan giliran mungkin tetap akan tidak berbicara meskipun kesempatan berbicara baginya terbuka luas.
- Hukuman dapat menyebabkan siswa yang bersangkutan menarik diri sama sekali.
- Hukuman dapat menyebabkan siswa agresif.
- Hukuman dapat menimbulkan reaktif negatif dan kawan-kawan siswa yang bersangkutan. Misalnya, siswa-siswa dapat menampilkan tingkah laku yang tidak diinginkan (seperti menertawakan, simpati) terhadap siswa yang menerima hukuman.
- Hukuman dapat menimbulkan sikap negatif pada diri sendiri atau terhadap suasana diluar dirinya. Misalnya, hukuman dapat merusak perasaan bahwa diri sendiri cukup berharga atau dapat menumbuhkan sikap negatif terhadap sekolah. Dalam mempertimbangkan keuntungan dan kerugian penggunaan hukuman, pilihan-pilihan yang akan diterapkan harus benar-benar dipertimbangkan secara hati-hati. Jika cara hukuman tertentu memang sudah dipilih, maka penerapannya harus dicatat secara diteliti.
Disamping itu, dalam melaksanakan hukuman itu guru harus
sudah mempertimbangkan hal-hal atau akibat yang mungkin terjadi dan guru harus
sudah siap pula menanggulangi apa yang mungkin terjadi itu. Lebih jauh
disarankan agar guru juga mampu memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang
baik sambil sekaligus mampu menahan pemberian penguatan atau hukuman terhadap tingkah
laku yang tidak disukai.
Pembicaraan
tentang pendekatan pengubahan tingkah laku dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Mengabaikan tingkah laku siswa yang tidak diinginkan dan menunjukkan persetujuan atas tingkah laku yang diinginkan adalah amat efektif dalam menumbuhkan tidak langkah yang baik bagi siswa-siswa di kelasnya.
- Menunjukkan persetujuan atas tingkah laku yang baik tampaknya merupakan kunci dari pengelolaan kelas yang efektif.
Kesimpulan-kesimpulan
diatas dapat diartikan sebagai berikut:
- Memberikan ganjaran terhadap tingkah laku siswa yang baik dan menahan pemberian ganjaran tingkah laku yang tidak baik adalah amat efektif untuk membina tingkah laku siswa yang lebih baik didalam kelasnya.
- Menghukum tingkah laku siswa yang tidak baik dapat meniadakan tingkah laku itu tetapi mungkin menimbulkan akibat sampingan yang bersifat negatif.
- Memberikan ganjaran terhadap tingkah laku yang baik tampaknya merupakan kunci bagi pengelolaan kelas yang efektif.
Sumber
: http://www.infodiknas.com (Sedikit di sunting)